AYAH
Oleh: Amrina Rosada
Terlihat suasana duka di kediaman Bu
Sandra dan anaknya, Nindi. Pada hari itu keluarga mereka sedang berduka atas
kepergian Ayahanda Nindi yaitu Pak Syahrul. Terlihat sekali mereka sangat
terpukul. Semua sanak saudara dan tetangga-tetangga sekitar berkumpul di rumah
Bu Sandra. Bu Sandra memang terlihat sedih dan terpukul atas kepergian suaminya
yang begitu cepat, tetapi ia berusaha untuk tidak menitikkan air mata di depan
keramaian. Walaupun sebenarnya dari wajahnya telah tergambar bahwa di dalam
hatinya Bu Sandra menangis kencang. Jika digambarkan, ia bagaikan pohon beringin yang goyah tertiup angin
tofan. Angin yang begitu kencang yang dapat merobohkan pohon yang kokoh itu.
Begitulah kurang lebih penggambaran perasaan yang sedang dialami oleh Bu Sandra
pada saat itu. Nindi terus menenangkan ibunya.
“Bu,
ikhlaskan kepergian ayah. Walaupun Ayah sudah tiada tetapi ia akan selalu ada
di hati kita Bu,” ucap Nindi dengan haru.
“Ibu
tidak menyangka Ayahmu akan secepat ini meninggalkan kita, Nak” balas Bu
Sandra.
Bu
Sandra tiba-tiba menitikkan air mata setelah mengatakan hal itu kepada anaknya
dan Bu Sandra pun kembali terpuruk.
“Iya
Bu, Nindi pun merasakan hal yang sama. Nindi terkejut ketika Nindi menerima
kabar dari dokter melalui Ibu bahwa Ayah sudah tiada. Nindi merasa kaki Nindi
lemas setelah mendengar kabar itu Bu,” ungkap Nindi pada ibunya dalam tangis
dan memeluk Ibunya.
“Ayah
kita koma selama tiga minggu Nak, dan Ibu masih meletakkan harapan bahwa Tuhan
akan kembali menyadarkan Ayah dari koma yang selama itu. Tapi kehendak Tuhan
ternyata berkata lain,” ungkap Bu Sandra dalam memeluk anaknya.
Nindi dan ibunya masih belum percaya
bahwa Pak Syahrul telah tiada, mereka masih dalam keadaan shock, tak henti-hentinya dalam pikiran Nindi terus
terbayang-bayang wajah Ayahnya. Saat kepergian Ayah Nindi ialah bertepatan pada saat hari terakhir Nindi dalam ujian
akhir semester kelas 1 SMA. Pada hari itu Nindi berusaha menyembunyikan kesedihannya
terhadap teman-temannya. Tetapi sesampainya Nindi di sekolah, ia terus-terusan
menitikkan air mata tanpa mengeluarkan suara. Padahal Nindi telah berusaha menyembunyikan
kesedihan itu, tetapi ternyata teman-teman Nindi mengetahui bahwa Nindi sedang
menangis. Teman-teman Nindi bertanya apa yang sedang Nindi pikirkan pada saat
itu.
“Nin,
kamu kenapa? Kamu menangis?” tanya Vera penasaran.
“Tidak
kok Ver, aku baik-baik saja,” balas Nindi sambil menghapus air matanya secara
perlahan dan memeluk Vera erat.
Vera
pun kembali bertanya dan Nindi menceritakan semuanya kepada Vera. Vera sebagai
teman dekatnya Nindi merasa sangat sedih melihat musibah yang sedang dialami
oleh Nindi. Vera pun memberikan nasihat-nasihat membangun pada Nindi.
“Nindi,
aku turut berduka atas musibah yang kamu alami. Tapi kamu jangan bersedih, kami
sebagai temanmu selalu ada untuk kamu dalam keadaan senang maupun sedih.
Jadilah anak yang dapat membanggakan orang tuamu kelak, buatlah Ayahmu bangga
akan kamu di sana, dia pasti melihat kalian di sini Nin,” ucap Vera dengan haru
“Insya
Allah, aku akan membuat mereka bangga akan diriku. Terima kasih banyak Ver, aku
saying kamu” balas Nindi dengan memeluk Vera erat.
Sesampainya di rumah setelah pulang
sekolah dari ujian akhir semester, Nindi melihat Ibunya terus-terusan bersedih
di rumah. Nindi menghampiri ibunya.
“Sudah
Bu, kita harus mengikhlaskan kepergian Ayah agar Ayah tetap tenang di sana.
Kita tak dapat mengubah takdir umur seseorang Bu, ini sudah jalan Allah.”
“Iya
Nak, Tuhan memberikan musibah seperti ini kepada kita agar kita dapat mengambil
hikmah dari semua ini. Dan Allah tak pernah memberi cobaan yang melebihi
kemampuan umatnya.” Ungkap Bu Sandra kepada anaknya.
Pada saat itu, Kakek dan Nenek Nindi
sedang menginap di rumah Nindi. Melihat dua orang, ibu dan anak itu menangis
dari kejauhan, maka Kakek mereka mencoba menghampiri mereka untuk menenangkan
mereka.
“Sudahlah
Cu, ikhlaskan kepergian Ayahmu agar ia tenang di alam sana,” nasihat Kakek
kepada Nindi cucunya.
“Iya
Kek, Nindi ikhlas Nindi hanya rindu Ayah Kek, perasaan Nindi masih belum kuat
ketika Nindi mengingat nasihat terakhir yang Ayah sampaikan pada saat pertemuan
terkahir Nindi bersama Ayah sebelum ia koma. Ketika saat itu Ayah sedang duduk
di ruang tamu, Ayah berpesan pada Nindi walau dengan nada bercanda, ia
mengatakan “Nindi, jangan pernah menyombongkan diri kepada teman-temanmu
apabila kamu tinggal di rumah mewah, padahal kita hanya mempunyai rumah yang
sederhana seadanya seperti ini. Nak, jangan pernah gengsi atau malu untuk
menyatakan hal yang sebenarnya. Berperilakulah selayaknya orang biasa dan
rendah hati. Jangan neko-neko. Maafkan
Ayah yang tak mampu menuruti semua keinginanmu.” Seperti itulah nasihat
terakhir yang Ayah sampaikan pada Nindi Kek.” Ucap Nindi dalam tangis.
“Maka
dari itu, laksanakanlah pesan terakhir dari Ayahmu Cu, jangan pernah kamu
menjadi orang yang sombong. Kita memang bukan orang yang berada, tetapi
kebahagiaan di dalam rumah yang sederhana ini dapat membeli kebahagiaan
orang-orang yang memiliki segalanya itu.,” ungkap Kakek pada Nindi dan Bu
Sandra.
Pada saat itu Kakek dan Nenek
meminta Nindi dan ibunya untuk tinggal kembali bersama Kakek dan Neneknya di
rumah kakek. Kakek tak ingin ada sesuatu yang terjadi pada mereka berdua,
karena di dalam rumah Bu Sandra sekarang memang sudah tak ada lagi lelaki yang
melindungi keluarga mereka, yang biasanya Pak Syahrul lah yang menjadi
pelindung keluarga di rumah pada saat itu. Sekarang hanya tinggal mereka berdua
di rumah, Bu Sandra dan Nindi. Dimana Nindi pun adalah seorang anak tunggal.
Lalu Bu Sandra pun menyetujui permintaan dari Ayahnya itu.
Seminggu telah berlalu, Bu Sandra
dan anaknya telah tinggal di rumah Kakek Nindi bersama dengan Nenek, sepupu
Nindi dan adiknya Bu Sandra. Nindi terus teringat dengan Ayahnya. Terkadang ia
menyendiri di kamar, mengingat Ayahnya dan merindukan sosok kehadiran Ayahnya.
Esoknya mereka sekeluarga pergi berziarah ke makam Ayah Nindi, yaitu Pak
Syahrul. Nindi tak kuasa menahan tangis. Mata Nindi dan ibunya mulai
berkaca-kaca.
“Nak,
jangan meneteskan air matamu tepat di atas makam Ayahmu. Itu akan membuatnya
susah untuk pergi meninggalkan kita. Akan timbul rasa ketidak-ikhlasan. Kamu
boleh menangis, akan tetapi jangan sampai air matamu jatuh di atas makam Ayahmu
ini, Nak” ucap Bu Sandra pada Nindi.
Setelah Nindi mendengar perkataan
ibunya itu, ia kembali menangis tersedu-sedu sambil membacakan do’a untuk
Ayahnya. Ia benar-benar tak kuasa menahan cobaan yang sedang menimpanya itu. Di
sana terlihat Bu Sandra yang berulang kali mengusap air matanya saat membacakan
do’a untuk suaminya. Kakek, Nenek, Paman dan Bibinya Nindi saat itu berada di
pemakaman untuk berziarah ke makam Ayah Nindi. Bagaimana tidak, kepergian Pak Syahrul yang secara tiba-tiba
itu membuat keluarganya terpukul. Takdir umur memang bukan ditangan mereka
tetapi mereka harus tetap mengikhlaskan kepergian Pak Syahrul.
“Jangan
berlarut dalam kesedihan ini Nak, biarkan suamimu tenang. Dan sekarang tanggung
jawabmu ialah anak semata wayangmu, jaga ia baik-baik,” nasihat Nenek kepada Bu
Sandra,
“Iya
Bu, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghidupi anakku, Nindi.” Ucap
Bu Sandra.
“Nah,
sekarang kamu harus sekolah sungguh-sungguh Cu, buat Ayahmu di sana dan Ibumu
di sini bangga akan apa yang kamu kerjakan. Jangan pernah mengecewakan ataupun
membuat ibumu menangis Cu,” nasihat Nenek kepada Nindi.
“Iya
Nek, Nindi akan berusaha dan berjanji akan membuat orang tua dan keluarga
bangga akan Nindi. Nindi ingin menjadi
anak yang berguna dalam keluarga, insya Allah.” Balas Nindi penuh harap.
“Bersabarlah,
terus do’akan orang tuamu dan ingatlah bahwa dibalik semua cobaan ini pasti
terdapat hikmah yang dapat dipetik.” Ucap Nenek.
Tangis Nindi mulai mereda. Kini
hari-hari yang mereka lalui dijalani dengan biasa saja, walaupun terasa ada
sesuatu yang hilang dan berbeda dari biasanya. Mereka mencoba membuka lembaran
baru. Tak lama setelah kepergian Ayah Nindi, Bu Sandra mendapatkan sebuah
pekerjaan, yang pada awalnya Bu Sandra hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tidak
bisa tidak, Bu Sandra harus mempunyai pekerjaan untuk menghidupi anaknya. Bu
Sandra tak mau bergantung pada orang tuanya terus-terusan. Terkadang anaknya
merasa sedih, melihat ibunya bekerja membanting tulang demi anak semata
wayangnya. Nindi ingin sekali membantu ibunya, tapi ia tak bisa, karena Nindi
masih duduk dibangku SMA, dan Nindi harus tetap fokus pada pelajarannya. Yang
terpenting sekarang ialah Nindi harus sekolah dan belajar yang giat serta
menghasilkan prestasi yang membanggakan untuk kedua orang tuanya.
0 komentar:
Posting Komentar