Pages

Rabu, 05 Maret 2014

Cerpen: AYAH


AYAH
Oleh: Amrina Rosada
            Terlihat suasana duka di kediaman Bu Sandra dan anaknya, Nindi. Pada hari itu keluarga mereka sedang berduka atas kepergian Ayahanda Nindi yaitu Pak Syahrul. Terlihat sekali mereka sangat terpukul. Semua sanak saudara dan tetangga-tetangga sekitar berkumpul di rumah Bu Sandra. Bu Sandra memang terlihat sedih dan terpukul atas kepergian suaminya yang begitu cepat, tetapi ia berusaha untuk tidak menitikkan air mata di depan keramaian. Walaupun sebenarnya dari wajahnya telah tergambar bahwa di dalam hatinya Bu Sandra menangis kencang. Jika digambarkan, ia bagaikan  pohon beringin yang goyah tertiup angin tofan. Angin yang begitu kencang yang dapat merobohkan pohon yang kokoh itu. Begitulah kurang lebih penggambaran perasaan yang sedang dialami oleh Bu Sandra pada saat itu. Nindi terus menenangkan ibunya.
“Bu, ikhlaskan kepergian ayah. Walaupun Ayah sudah tiada tetapi ia akan selalu ada di hati kita Bu,” ucap Nindi dengan haru.
“Ibu tidak menyangka Ayahmu akan secepat ini meninggalkan kita, Nak” balas Bu Sandra.
Bu Sandra tiba-tiba menitikkan air mata setelah mengatakan hal itu kepada anaknya dan Bu Sandra pun kembali terpuruk.
“Iya Bu, Nindi pun merasakan hal yang sama. Nindi terkejut ketika Nindi menerima kabar dari dokter melalui Ibu bahwa Ayah sudah tiada. Nindi merasa kaki Nindi lemas setelah mendengar kabar itu Bu,” ungkap Nindi pada ibunya dalam tangis dan memeluk Ibunya.
“Ayah kita koma selama tiga minggu Nak, dan Ibu masih meletakkan harapan bahwa Tuhan akan kembali menyadarkan Ayah dari koma yang selama itu. Tapi kehendak Tuhan ternyata berkata lain,” ungkap Bu Sandra dalam memeluk anaknya.
            Nindi dan ibunya masih belum percaya bahwa Pak Syahrul telah tiada, mereka masih dalam keadaan shock, tak henti-hentinya dalam pikiran Nindi terus terbayang-bayang wajah Ayahnya. Saat kepergian Ayah Nindi ialah bertepatan  pada saat hari terakhir Nindi dalam ujian akhir semester kelas 1 SMA. Pada hari itu Nindi berusaha menyembunyikan kesedihannya terhadap teman-temannya. Tetapi sesampainya Nindi di sekolah, ia terus-terusan menitikkan air mata tanpa mengeluarkan suara. Padahal Nindi telah berusaha menyembunyikan kesedihan itu, tetapi ternyata teman-teman Nindi mengetahui bahwa Nindi sedang menangis. Teman-teman Nindi bertanya apa yang sedang Nindi pikirkan pada saat itu.
“Nin, kamu kenapa? Kamu menangis?” tanya Vera penasaran.
“Tidak kok Ver, aku baik-baik saja,” balas Nindi sambil menghapus air matanya secara perlahan dan memeluk Vera erat.
Vera pun kembali bertanya dan Nindi menceritakan semuanya kepada Vera. Vera sebagai teman dekatnya Nindi merasa sangat sedih melihat musibah yang sedang dialami oleh Nindi. Vera pun memberikan nasihat-nasihat membangun pada Nindi.
“Nindi, aku turut berduka atas musibah yang kamu alami. Tapi kamu jangan bersedih, kami sebagai temanmu selalu ada untuk kamu dalam keadaan senang maupun sedih. Jadilah anak yang dapat membanggakan orang tuamu kelak, buatlah Ayahmu bangga akan kamu di sana, dia pasti melihat kalian di sini Nin,” ucap Vera dengan haru
“Insya Allah, aku akan membuat mereka bangga akan diriku. Terima kasih banyak Ver, aku saying kamu” balas Nindi dengan memeluk Vera erat.
            Sesampainya di rumah setelah pulang sekolah dari ujian akhir semester, Nindi melihat Ibunya terus-terusan bersedih di rumah. Nindi menghampiri ibunya.
“Sudah Bu, kita harus mengikhlaskan kepergian Ayah agar Ayah tetap tenang di sana. Kita tak dapat mengubah takdir umur seseorang Bu, ini sudah jalan Allah.”
“Iya Nak, Tuhan memberikan musibah seperti ini kepada kita agar kita dapat mengambil hikmah dari semua ini. Dan Allah tak pernah memberi cobaan yang melebihi kemampuan umatnya.”  Ungkap  Bu Sandra kepada anaknya.
            Pada saat itu, Kakek dan Nenek Nindi sedang menginap di rumah Nindi. Melihat dua orang, ibu dan anak itu menangis dari kejauhan, maka Kakek mereka mencoba menghampiri mereka untuk menenangkan mereka.
“Sudahlah Cu, ikhlaskan kepergian Ayahmu agar ia tenang di alam sana,” nasihat Kakek kepada Nindi cucunya.
“Iya Kek, Nindi ikhlas Nindi hanya rindu Ayah Kek, perasaan Nindi masih belum kuat ketika Nindi mengingat nasihat terakhir yang Ayah sampaikan pada saat pertemuan terkahir Nindi bersama Ayah sebelum ia koma. Ketika saat itu Ayah sedang duduk di ruang tamu, Ayah berpesan pada Nindi walau dengan nada bercanda, ia mengatakan “Nindi, jangan pernah menyombongkan diri kepada teman-temanmu apabila kamu tinggal di rumah mewah, padahal kita hanya mempunyai rumah yang sederhana seadanya seperti ini. Nak, jangan pernah gengsi atau malu untuk menyatakan hal yang sebenarnya. Berperilakulah selayaknya orang biasa dan rendah hati. Jangan neko-neko. Maafkan Ayah yang tak mampu menuruti semua keinginanmu.” Seperti itulah nasihat terakhir yang Ayah sampaikan pada Nindi Kek.” Ucap Nindi dalam tangis.
“Maka dari itu, laksanakanlah pesan terakhir dari Ayahmu Cu, jangan pernah kamu menjadi orang yang sombong. Kita memang bukan orang yang berada, tetapi kebahagiaan di dalam rumah yang sederhana ini dapat membeli kebahagiaan orang-orang yang memiliki segalanya itu.,” ungkap Kakek pada Nindi dan Bu Sandra.
            Pada saat itu Kakek dan Nenek meminta Nindi dan ibunya untuk tinggal kembali bersama Kakek dan Neneknya di rumah kakek. Kakek tak ingin ada sesuatu yang terjadi pada mereka berdua, karena di dalam rumah Bu Sandra sekarang memang sudah tak ada lagi lelaki yang melindungi keluarga mereka, yang biasanya Pak Syahrul lah yang menjadi pelindung keluarga di rumah pada saat itu. Sekarang hanya tinggal mereka berdua di rumah, Bu Sandra dan Nindi. Dimana Nindi pun adalah seorang anak tunggal. Lalu Bu Sandra pun menyetujui permintaan dari Ayahnya itu.
            Seminggu telah berlalu, Bu Sandra dan anaknya telah tinggal di rumah Kakek Nindi bersama dengan Nenek, sepupu Nindi dan adiknya Bu Sandra. Nindi terus teringat dengan Ayahnya. Terkadang ia menyendiri di kamar, mengingat Ayahnya dan merindukan sosok kehadiran Ayahnya. Esoknya mereka sekeluarga pergi berziarah ke makam Ayah Nindi, yaitu Pak Syahrul. Nindi tak kuasa menahan tangis. Mata Nindi dan ibunya mulai berkaca-kaca.
“Nak, jangan meneteskan air matamu tepat di atas makam Ayahmu. Itu akan membuatnya susah untuk pergi meninggalkan kita. Akan timbul rasa ketidak-ikhlasan. Kamu boleh menangis, akan tetapi jangan sampai air matamu jatuh di atas makam Ayahmu ini, Nak” ucap Bu Sandra pada Nindi.
            Setelah Nindi mendengar perkataan ibunya itu, ia kembali menangis tersedu-sedu sambil membacakan do’a untuk Ayahnya. Ia benar-benar tak kuasa menahan cobaan yang sedang menimpanya itu. Di sana terlihat Bu Sandra yang berulang kali mengusap air matanya saat membacakan do’a untuk suaminya. Kakek, Nenek, Paman dan Bibinya Nindi saat itu berada di pemakaman untuk berziarah ke makam Ayah Nindi. Bagaimana tidak,  kepergian Pak Syahrul yang secara tiba-tiba itu membuat keluarganya terpukul. Takdir umur memang bukan ditangan mereka tetapi mereka harus tetap mengikhlaskan kepergian Pak Syahrul.
“Jangan berlarut dalam kesedihan ini Nak, biarkan suamimu tenang. Dan sekarang tanggung jawabmu ialah anak semata wayangmu, jaga ia baik-baik,” nasihat Nenek kepada Bu Sandra,
“Iya Bu, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghidupi anakku, Nindi.” Ucap Bu Sandra.
“Nah, sekarang kamu harus sekolah sungguh-sungguh Cu, buat Ayahmu di sana dan Ibumu di sini bangga akan apa yang kamu kerjakan. Jangan pernah mengecewakan ataupun membuat ibumu menangis Cu,” nasihat Nenek kepada Nindi.
“Iya Nek, Nindi akan berusaha dan berjanji akan membuat orang tua dan keluarga bangga akan Nindi.  Nindi ingin menjadi anak yang berguna dalam keluarga, insya Allah.” Balas Nindi penuh harap.
“Bersabarlah, terus do’akan orang tuamu dan ingatlah bahwa dibalik semua cobaan ini pasti terdapat hikmah yang dapat dipetik.” Ucap Nenek.
            Tangis Nindi mulai mereda. Kini hari-hari yang mereka lalui dijalani dengan biasa saja, walaupun terasa ada sesuatu yang hilang dan berbeda dari biasanya. Mereka mencoba membuka lembaran baru. Tak lama setelah kepergian Ayah Nindi, Bu Sandra mendapatkan sebuah pekerjaan, yang pada awalnya Bu Sandra hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tidak bisa tidak, Bu Sandra harus mempunyai pekerjaan untuk menghidupi anaknya. Bu Sandra tak mau bergantung pada orang tuanya terus-terusan. Terkadang anaknya merasa sedih, melihat ibunya bekerja membanting tulang demi anak semata wayangnya. Nindi ingin sekali membantu ibunya, tapi ia tak bisa, karena Nindi masih duduk dibangku SMA, dan Nindi harus tetap fokus pada pelajarannya. Yang terpenting sekarang ialah Nindi harus sekolah dan belajar yang giat serta menghasilkan prestasi yang membanggakan untuk kedua orang tuanya.